Disusun
oleh al-Ustadz Dr. Ismail Akzam, S.Pd., M.A.
1.
Gambaran Syubhat dalam Artikel
Artikel
tersebut mencoba menggambarkan apa yang disebutnya “Salafi Al-Saud”
sebagai alat politik di tangan penguasa dan kekuatan Barat, yang dibagi ke
dalam tiga fase (jihadis – ilmiah – madkhali). Artikel itu menuduh bahwa s
alafisme Saudi digunakan untuk melemahkan gerakan Islam lain, memecah belah
umat, bahkan menjadi alat untuk menekan perjuangan Palestina. Disebut pula
bahwa gerakan ini dimanfaatkan oleh CIA dan sekutu Barat sejak era Perang
Dingin.
---
2.
Jawaban Singkat dalam Poin
1.
Mencampuradukkan antara manhaj salafi dan kesalahan politik individu atau
negara adalah kekeliruan. Salafisme adalah metode ilmiah dan syar’i dalam
memahami Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman para sahabat,
bukan produk politik tertentu.
2.
Mengaitkan salafisme dengan CIA atau kepentingan Barat hanyalah dugaan yang
tidak memiliki bukti ilmiah yang kuat.
3.
Perpecahan antar gerakan Islam tidak otomatis berarti hasil dari konspirasi;
perbedaan pandangan memang ada sejak zaman sahabat dan tabiin karena perbedaan
ijtihad.
4.
Sikap salafi terhadap Palestina atau jihad dibangun atas prinsip syariat:
mendukung jihad yang sah dan menolak yang melanggar kaidah syariat, bukan
berarti mendukung penjajahan.
5.
Mengambil sumber dari media dengan ideologi tertentu seperti Al-Jazeera tidak
menjamin objektivitas, apalagi bila bercampur antara narasi politik dan
sejarah.
---
3.
Jawaban Panjang dan Rinci
A.
Soal pembagian salafisme menjadi “jihadis – ilmiah – madkhali”
Pembagian
ini bukan pembagian yang diakui dalam disiplin ilmu Islam, tetapi klasifikasi
buatan penulis kontemporer untuk tujuan analisis politik.
Salafisme
tetap satu dalam pokok ajaran: tauhid, ittiba’ (mengikuti sunnah), menolak
bid’ah, kembali pada nash. Perbedaan hanya pada metode dan sikap politik
sebagian pengikut, bukan pada manhaj dasarnya.
Tokoh
seperti Abu Muhammad Al-Maqdisi atau Ahmad Al-Hazimi tidak mewakili salafisme
asli, bahkan sebagian pandangannya dikritik oleh ulama salafi.
---
B. Tuduhan
bahwa salafisme adalah alat CIA
Tuduhan
ini sering muncul di tulisan ideologis, namun tanpa bukti pasti.
Salafisme sudah ada jauh sebelum lahirnya badan intelijen Barat; ia adalah
kelanjutan dari metode pemahaman Islam para sahabat dan ulama salaf sejak
abad-abad awal.
Memang
benar, dalam sejarah, penguasa atau kekuatan tertentu pernah memanfaatkan
kelompok keagamaan untuk kepentingan mereka, tetapi itu tidak mengubah hakikat
ajaran kelompok tersebut.
---
C.
Kasus Mesir pada era Anwar Sadat
Bantuan
Saudi untuk dakwah di Mesir bukan bukti pasti bahwa tujuannya memerangi
Ikhwanul Muslimin; bisa saja murni untuk menyebarkan dakwah tauhid dan sunnah.
Perbedaan
salafi dengan Ikhwan di Mesir bersifat metodologis (masalah politik, partai, dan metode perubahan), bukan semata
hasil rekayasa pihak luar.
Menyamakan
semua perbedaan pandangan dengan “proyek memecah belah” adalah penyederhanaan
berlebihan.
---
D.
Tuduhan bahwa salafi anti-Palestina atau pro-Zionis
Manhaj
salafi menegaskan bahwa Palestina adalah wilayah Islam yang harus dibebaskan.
Namun,
jihad harus dilakukan sesuai syarat syar’i: memiliki kepemimpinan yang sah,
kemampuan memadai, dan tidak menimbulkan kerusakan lebih besar.
Ada
perbedaan antara menolak cara tertentu dan menolak tujuan perjuangan itu
sendiri.
---
E.
Kasus Indonesia dan hubungan dengan NU, Muhammadiyah, Persis
Perbedaan
salafi dengan ormas-ormas Islam di Indonesia terutama pada sumber hukum dan
pendekatan dakwah: salafi mengutamakan kembali langsung pada Al-Qur’an dan
Sunnah, sementara ormas lain mungkin menggabungkannya dengan tradisi lokal atau
mazhab tertentu.
Ucapan
sebagian salafi bahwa “mayoritas umat berada dalam jahiliyah” bukan berarti
mengkafirkan mereka, tapi mengkritik maraknya praktik bid’ah dan syirik yang
bertentangan dengan tauhid.
---
F.
Kekeliruan dalam logika umum artikel
Artikel
ini cenderung melakukan generalisasi: kesalahan individu atau kebijakan negara
langsung dilekatkan ke seluruh manhaj salafi.
Logika
seperti ini sama saja dengan menilai Islam buruk hanya karena kesalahan
penguasa Muslim—sesuatu yang jelas keliru.
---
Kesimpulan
Artikel
tersebut menyamakan manhaj salafi asli dengan praktik politik sebagian pihak
yang mengklaimnya. Salafisme bukan buatan CIA atau sekutu Barat, melainkan
manhaj Islam murni yang bersumber dari pemahaman sahabat Nabi ﷺ. Jika ada penyalahgunaan nama salafi untuk tujuan politik, maka
kesalahan ada pada pelakunya, bukan pada ajaran itu sendiri.
Ringkas
& Tegas: Pokok Bantahan + Dalil & Rujukan
1)
“Salafisme = alat politik/CIA”
Bantahan
ilmiah:
Manhaj
salafi adalah komitmen untuk kembali kepada Al-Qur’an & Sunnah sesuai
pemahaman Sahabat. Ini prinsip agama yang mendahului negara, partai, dan
intelijen moderen. Klaim “produk Perang Dingin” keliru secara sejarah dan
metodologi.
Dalil:
“Jika kalian berselisih pada sesuatu, kembalikan kepada Allah dan Rasul” (QS.
4:59). Para mufassir menegaskan maknanya: rujuk ke Kitab & Sunnah dalam
semua perkara akidah dan syariat (lihat penjelasan Ibn Katsir) . Juga QS. 42:10
dan penjelasan ahli tafsir bahwa ‘ikhtilaf’ dan ‘tanāzu‘ sama-sama dikembalikan
pada nash (al-Rāghib al-Aṣfahānī, Ibn ‘Āsyūr, al-Ṭabarī, al-Qurṭubī) .
Rujukan
Salaf:
Imam
al-Syāfi‘ī (al-Risālah): Ketaatan
pada Rasul meniscayakan hujjiyyah Sunnah; siapa yang mendapatkan sunnah Rasul,
maka itulah pendapatnya.
Ibn
Taymiyyah: Manhaj Salaf a‘lamu wa aḥkamu wa
aslam — jalan Salaf paling berilmu, paling bijak, paling selamat.
al-Barbahārī
(Syarḥ al-Sunnah): “Ketahuilah,
agama itu adalah Sunnah, dan Sunnah itu agama.”
Intinya: Kesalahan individu/negara tidak mengubah hakikat manhaj. Menempelkan
praktik politik siapa pun kepada “Salafisme” sebagai agama adalah generalization
fallacy.
---
2)
“Salafisme memecah umat & memusuhi gerakan lain”
Bantahan
ilmiah:
Perbedaan
ijtihad bukan otomatis konspirasi. Sejak generasi awal, perbedaan pendapat ada
— namun kaidahnya: rujuk ke nash dengan pemahaman Salaf, bukan ke sentimen
kelompok.
Dalil:
Perintah rujuk Kitab & Sunnah saat sengketa (QS. 4:59; QS. 42:10)
dijelaskan mufassir sebagai kaidah penyelesai konflik: hukum Allah & Rasul
yang jadi pemutus (tafsir Ibn Katsir, al-Ṭabarī, al-Qurṭubī) .
Rujukan
Salaf:
al-Syāṭibī
(al-I‘tiṣām): Persatuan yang
syar‘i adalah persatuan di atas dalil, bukan sekadar ikatan organisasi; bid‘ah
dan fanatisme kelompoklah yang memecah.
al-Lālikā’ī
(Sharḥ Uṣūl I‘tiqād): Ijmak Salaf: berpegang pada atsar dan meninggalkan
bid‘ah.
---
3)
“Salafisme anti-Palestina/condong Zionis”
Bantahan
ilmiah:
Manhaj
salafi menetapkan: Palestina negeri Islam yang terdzalimi; menolongnya wajib
dengan cara syar‘i. Perbedaan terjadi pada tata-cara jihad (syurūṭ & ḍawābiṭ),
bukan pada tujuan.
Dalil
& Kaidah Fikih:
Jihad
disyariatkan dengan syarat & kemampuan; menolak cara yang lebih mafsadah
bukan berarti pro-penjajah (kaidah jalbul maṣāliḥ wa dar’ul mafāsid).
QS.
8:60 (persiapan kekuatan), QS. 2:195 (jangan jatuhkan diri ke kebinasaan).
Rujukan
Salaf:
Ibn
Taymiyyah (al-Siyāsah al-Syar‘iyyah):
Penegakan maslahat syar‘i dan pencegahan mafsadah adalah hakikat kebijakan
syar‘i.
Ibn
al-Qayyim (I‘lām al-Muwaqqi‘īn):
Fatwa/jihad berporos pada timbangan maslahat–mafsadah.
Catatan:
Mengkritik taktik bukan berarti menolak perlawanan. Ini wilayah ijtihad — bukan
stempel “anti-Palestina”.
---
4)
“Beasiswa/dukungan Saudi = kontrol buta”
Bantahan
ilmiah:
Bantuan
material tidak membatalkan otonomi ilmiah. Tradisi keilmuan Ahlul Ḥadīts
bertumpu pada isnād & naqd (kritik sanad–matan) yang ketat, jauh dari
“kontrol buta”.
Bukti
metodologis:
Perhatian
Sahabat & Tabi‘in dalam menerima/menyampaikan Sunnah sejak awal, disertai
kehati-hatian, musyāwarah, rihlah ilmiah, dan penyaringan (lihat ringkasannya)
.
Ulama
jarḥ–ta‘dīl tidak “lunak” membabi-buta: tuduhan “para kritikus mudah memberi
ta’dīl” dipatahkan dengan data praktik jarḥ (pencacatan kelemahan) dan penolakan
riwayat majhūl di banyak tempat (ringkasan kajian tentang al-‘Ijli, Ibn Ḥibbān,
Ibn Khuzaymah, al-Ḥākim) .
Rujukan
Salaf:
‘Abdullāh
ibn al-Mubārak: al-Isnād
minad-dīn; lawlā al-isnād laqāla man syā’a mā syā’a — “Isnād itu bagian dari
agama; tanpa isnād, siapa pun akan berkata semaunya.”
Imam
Aḥmad: Uṣūl al-Sunnah — pokok Sunnah
adalah berpegang pada atsar; inilah garansi epistemik ilmu.
---
5)
“Salafisme merendahkan umat (99% jahiliyah)”
Bantahan
ilmiah:
Meluruskan
syirik & bid‘ah bukan berarti mengkafirkan masyarakat. Salaf menempuh
tashfiyah (pemurnian) & tarbiyah (pendidikan): mengajarkan tauhid, sunnah,
adab — bukan vonis serampangan.
Dalil
& Rujukan:
QS.
16:125 – dakwah dengan ḥikmah &
mau‘izhah ḥasanah.
al-Syāṭibī: al-Bid‘ah hakikatnya tambah-kurang dalam agama — ia diluruskan,
bukan dijadikan alat caci maki.
Ibn
Katsīr pada ayat perselisihan: Nabi dan
para sahabat mendidik umat dengan wahyu, bukan labelisasi yang mematikan
dialog.
---
6)
“Salafisme vs. ormas (NU, Muhammadiyah, Persis) = proyek benturan”
Bantahan
ilmiah:
Perbedaan
metode (langsung ke nash vs. mempertahankan tradisi/mazhab tertentu)
adalah ijtihād. Kaidahnya: tawāṣī bil-ḥaqq sambil menjaga adab ikhtilāf.
Rujukan
Salaf:
Imam
Mālik: “Setiap orang bisa diambil dan ditinggalkan perkataannya kecuali
penghuni kubur ini (Rasulullah ﷺ).”
al-Syāfi‘ī: “Pendapatku benar tapi mungkin salah; pendapat selainku salah tapi
mungkin benar.”
Kesimpulan
umum: Mengubah ijtihād manhaj menjadi narasi konspirasi itu reduksionis.
Ukurannya kembali ke hujjah ilmiah — bukan identitas kelompok.
---
Lampiran
(Dalil & Kutipan Klasik Kunci)
QS.
4:59 & QS. 42:10 + tafsir ulama:
rujuk ke Kitab & Sunnah ketika sengketa; “ikhtilāf/ tanāzu‘” kembali
ke nash (Ibn ‘Āsyūr, al-Ṭabarī, al-Qurṭubī, Ibn Kathīr, al-Rāghib).
Tradisi
kehati-hatian hadis sejak Sahabat–Tabi‘in: perhatian, rihlah, musyāwarah, pengetatan
periwayatan (ringkasan).
Ketegasan
jarḥ–ta‘dīl (bukan
“lunak”): telaah al-‘Ijli, Ibn Khuzaymah, Ibn Ḥibbān, al-Ḥākim menunjukkan
disiplin kritik.
Kehormatan
& keadilan Sahabat (prinsip
mengikuti pemahaman Salaf): klarifikasi ayat-ayat yang dijadikan syubhat, lalu
ditegaskan pujian & pemaafan Allah kepada mereka (ringkasan) .
Catatan: Saya mengutip poin-poin di atas dari ringkasan dokumen Anda; untuk
rujukan primer, lihat karya-karya: al-Risālah (al-Syāfi‘ī), Majmū‘
Fatāwā (Ibn Taymiyyah), Syarḥ al-Sunnah (al-Barbahārī), al-I‘tiṣām
(al-Syāṭibī), I‘lām al-Muwaqqi‘īn (Ibn al-Qayyim), al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah
(al-Māwardī).
---
Penutup
(Inti)
Manhaj
salafi = kembali ke Al-Qur’an & Sunnah dengan pemahaman Sahabat → ini standar ilmiah Ahlus Sunnah.
Politik
bisa naik-turun; manhaj tetap: hujjah di atas nash, bukan di atas figur/kelompok.
Menilai
manhaj dari oknum & momentum politik adalah non-sequitur yang tidak sah
secara ilmiah.
---
Wallahu
A'lam bish Shawaab
artikel rumahassaadah.web.id

0 Komentar